Oleh : Nikmatul Sugiyarto
Ibuku adalah salah satu wisatawan yang suka mengabadikan setiap moment, lewat kamera di handphonenya. Dan pemandangan alam sampai simbol icon di setiap kota itu, menandakan tempat wisata yang dia kunjungi bersama teman-temannya.
Makanya berswafoto menjadi hal yang wajib setiap berkunjung di berbagai tempat wisata. Namun rasanya miris ketika melihat keramaian tempat wisata itu nyatanya dipolitisasi oleh kubu 02, yang menempel baliho besar di icon “Welcome To Batam”.
Hal itu tentu menuai banyak kritik, salah satunya dari menteri pariwisata Sandiaga Uno yang mengatakannay sebagai biang masalah karena bisa mengurangi daya tarik wisatawan terhadap daerah pariwisata. Ditambah lagi ini posisinya strategis di tempat pariwisata, menempel dalam tulisan “Welcome To Batam” yang terpampang di tengah pemandangan alam pada setiap sisinya.
Aku turut membenarkan Sandiaga bahwa fenomena itu membuat branding pariwisata menjadi down. Ya karena banyak wisatawan yang mengaku enggan berswafoto di sana, karena ada gambar paslon 02 yang membuat pemandangan asri menjadi tercemar.
Jelas, karena tidak semua wisatawan itu menyukai paslon 02. Apalagi yang paham betul cerita di balik capres dan cawapresnya yang memiliki banyak trouble dalam rekam jejaknya. Anehnya yang seperti itu masih disangkal keras oleh kubu 02, dengan dalih mereka sudah dapat izin dari pemerintah daerah setempat untuk menempatkan baliho di icon strategis Batam itu.
Alasan protes mereka sungguh menggelikan. Dengan emosi yang meletup-letup, justru terkesan mereka sedang membuka aib. Ya, Presiden sendiri sudah memperingatkan aparat negara berulang kali untuk menjaga netralitas. Artinya izin itu adalah sebuah pelanggaran, atau malah sebagai buah dari persekongkolan yang terjalin antara kubu 02 dengan pemda setempat?
Karena kalau pun pihak pemda itu taat patuh dengan peraturan dan tidak mengabaikan peringatan dari Presiden, maka tidak mungkin izin turun karena hal itu berhubungan dengan urusan daerah khusunya tempat wisata lokal. Tentu tidak boleh dipolitisasi sepihak oleh pimpinan daerahnya, apalagi posisi kita sedang berdemokrasi.
Tahun politik menjadikan kita lebih selektif, demi menjaga sikap untuk menunjukkan bagaimana demokrasi sehat melalui pemilu damai. Artinya harus ada sikap tenggang rasa saat berbeda pilihan, sekaligus masih menjalin kerukunan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Nasehat itu sudah termaktub dalam ideologi bangsa kita, dan ya pancasila itu harus diamalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Aku tidak lagi paham cara politik kubu 02, kebanyakan aneh tapi hal itu malah tidak terlalu diperhatikan aparat. Karena mereka sendiri juga segan memberi kartu kuning hingga mengeluarkan kartu merah untuk paslon 02, dengan alasan tersembunyi ada anak presiden di sana atau malah perjanjian lainnya?
Apalagi selama ini banyak kasus timbul, karena kritikan dilayangkan untuk paslon 02. Memang sudah seperti zaman orba saja kondisinya begini. Beberapa sudah terkena toxic, salah satunya yang membenarkan tindakan TNI menganiaya pendukung Ganjar-Mahfud dengan tidak manusiawi. Di saat ada aturan, justru hanya menjadi hiasan semata saja, tidak lebih dari itu fungsinya.
Ya seperti inilah penampakan demokrasi di tengah hausnya penguasa akan kekuasaan. Semua aparat yang harusnya menjadi wasit, yang mestinya meniup peluitnya ketika ada pelanggaran, mengeluarkan kartu kuning ataupun merah yang menandakan netralitas demi NKRI yang harganya mati, justru tidak menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.
Miris tapi kita sebagai rakyat, yang kekuatannya besar dalam demokrasi harus tetap menyuarakan dan mengambil keputusan tepat dengan hak yang kita miliki.
0 Komentar